Notulen

Keterkaitan x Pembaruan:
Sebuah Pergulatan

Nota Kreator oleh Salman Aristo

Hal yang paling sering dijadikan perdebatan sampai pada taraf diskusi banal dalam blantika perfilman, terutama Indonesia, adalah mencetak karya mainstream versus non-mainstream. Bahkan didangkalkan lagi menjadi film komersil dan ‘festival’. Persitegangan yang basi. Karena sudah terlalu banyak karya yang akan menggagapkan pengerdilan tersebut. Belum lagi festival sendiri tak bisa disempitkan seserampangan itu. Film masterpiece jenis horor tidak akan bisa juara di festival komedi. Betul, basi sekali memang.

Saya lebih ingin mengkajinya dengan meletakkan batu argumen pada titik paling dasar, yaitu soal apa yang sebenarnya diminta oleh kedua kubu tadi. Sudut arus utama alias mainstream buat saya, berpegang pada kata keterkaitan dengan publik. Relevansi sosial menjadi akar utama. Sementara non mainstream, bersiteguh menuntut inovasi atau pembaruan.

Dari pijakan pikir itu, jernih bisa ditelaah, tak ada yang bisa diadu. Keduanya semata-mata posisi berdiri yang bisa diambil oleh para kreator saat meracik karyanya. Sengkarut pemahaman terjadi, ketika ukuran inovasi dijejalkan pada saat hendak berkiprah di ranah arus utama. Begitu sebaliknya. Kacau dan bikin orang banyak frustrasi, karena bagaimana pun juga, dua area tadi, punya publiknya sendiri.

Tentu, menyodok pertanyaan baru: memang tidak boleh ada karya yang berkait kuat pada publik sekaligus membawa pembaruan. Amat sangat bisa, dan itulah potensi mahakarya yang sesungguhnya. Bisa berdiri di dua ranah dengan gagah dan sukses menggabungkan dua pilar tadi. Tentu tuntutan pun, menjulang setinggi langit bila ingin meluruhkan karya macam begini.

Buat saya, eling terhadap posisi dasar ini penting bagi seorang kreator. Gagasan dalam berkarya jadi semakin jelas. Dunia bisa cemerlang menyambut sekaligus memberikan perspektif balik lewat kritik dengan lebih tajam. Industri tumbuh makin jenial dan dewasa.

Dua kubu tadi pun tanpa harus dijembatani buat digabung, bila dimaksimalkan dengan baik, akan meledakkan revolusinya secara mandiri. Mainstream lewat keterkaitan yang kuat dengan rakyat, akan meletuskan revolusi sosial. Contoh paling sederhana adalah cerita-cerita protes yang menjadi bensin pergerakan massa menjungkirkan kelaliman. Sementara non mainstream, bisa mendorong revolusi kultural ketika inovasinya dalam berkarya menjebulkan cara tutur baru yang memelekkan batin dunia. Akira Kurosawa lewat Rashomon mungkin bisa dikutip buat jadi misal yang jitu.

Tapi, meski semua kemungkinan itu penuh dengan dinamika yang riuh, ada satu hal yang berdiri tegak tanpa bisa ditawar: kemampuan kreator menguasai kekriyaan yang mumpuni adalah kudu. Itu sama sekali tak terbantahkan. Bila ingin punya masterpiece atau jadi revolusioner.

Nah, daripada berdebat kusir, mari kita asah saja kelihaian dalam ketekunan yang ahli.

©2020 Wahana Kreator Nusantara | All Rights Reserved